Sarasenia

Catatan Kecil Tentang Duniaku

Minggu, 21 April 2013

(Penggalan) Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin - Tereliye

"Delapan tahun ibu sudah pergi. Dan ternyata ibu tak sekalipun datang untuk menjenguk kami. Itu berarti ada banyak sekali yang ibu siapkan di sana, bukan seperti menyiapkan sarapan di pagi hari."

Aku nyengir. Dia juga menyengir. Itulah kata-kata yang diucapkan dia waktu membujuk adikku untuk beranjak pulang dari pemakaman ibu delapan tahun silam.

"Tetapi tak peduli seberapa lama lagi ibu akan menyiapkan banyak hal disana, ada satu hal yang akan kami kenang selalu dari semua ini."

Adikku diam takzim. Mengangkat kepalanya.

"Daun yang jatuh tak pernah membenci angin." Suara adikku tercekat.

Aku menghela napas. Kalimat itu. Melirik ke arah adikku. Wajah Dede berubah dari muka anak kuliahan serba tanggung menjadi begitu teduh. Menjadi begitu menyenangkan. Seketika hatiku ikut tersentuh.

"Dede dulu tak mengerti apa maksudnya. Kalimat itu bahkan terdengar menyebalkan. Dede bahkan mengibaskan tangan orang yang mengatakannya. Ibu... Dede hanya berpikir ibu pergi karena tak sayang lagi pada Dede. Yang bandel, selalu malas disuruh, hanya main melulu. Dede tahu ibu dulu selalu sayang Kak Tania. Jadi tak mungkin ibu pergi karena Kak Tania."

Aku menelan ludah. Dia dan Kak Ratna juga berdiam. Tangan mereka saling menggenggam.

"Dede ternyata keliru... Ibu pergi bukan karena tak sayang lagi pada Dede. Ibu pergi untuk mengajarkan sesuatu..."

Suara Dede mulai serak.

"Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti... pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami... pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan.

"Kami kecil sekali saat ibu pergi. Gemetar menatap gelapnya masa depan. Takut bercermin pada masa lalu yang getir.

"Ibu benar... Tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah kemana. Dan kami akan mengerti, kami akan memahami, ... dan kami akan menerima."

Dede diam. Lama.

Lantas menoleh ke dia. Memberikan tempat baginya untuk menyampaikan sesuatu. Dia menggeleng. Adikku menatap aku. Aku juga menggeleng (kata-kata Dede sudah lebih dari cukup). Menatap Kak Ratna. Kak Ratna tersenyum menggeleng.

Kami bersama-sama meletakkan setangkai mawar merah di pusara ibu. Angin berembus lembut memainkan anak rambutku. Daun pohon kamboja berguguran. Satu helai jatuh di pundakku. Matahari menanjak tinggi. Langit cerah tak berawan. Biru! Warna kesukaanku.

Kami beranjak pulang.

0 komentar: