Dalam salah satu perjalanan yang pernah ayah lakukan, ayah
tiba di perkampungan para sufi. Kau tahu apa itu sufi? Sufi adalah orang- orang
yang tidak mencintai dunia dan seisinya. Mereka lebih sibuk memikirkan hal
lain. Memikirkan filsafat hidup, makna kehidupan, dan prinsip- prinsip hidup
yang agung. Ayah tahu, di antara banyak sufi, tidak semuanya berhasil mencapai pemahaman
yang sempurna tentang kehidupan. Ada yang baru tertatih belajar kenapa kita
harus hidup. Ada yang sudah mencapai pemahaman apa tujuan dan makna hidup, ada
pula yang telah berhasil melakukan perjalanan spiritual hingga memahami hakikat
sejati kebahagiaan hidup.
Itu pertanyaan terpenting ayah. Apa hakikat sejati
kebahagiaan hidup? Apa definisi kebahagiaan? Kenapa tiba- tiba kita merasa senang
dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan? Mengapa kita tiba- tiba
sebaliknya merasa sedih dengan sebuah kejadian, kehilangan, atau sekedar kabar
buruk? Kenapa hidup kita seperti dikendalikan sebuah benda yang disebut hati? Tidak
ada di antara sekelompok sufi itu yang bisa memberikan penjelasan memuaskan. Mereka
menggeleng, hingga akhirnya salah seorang dari mereka menyarankan ayah
berangkat ke salah satu lereng gunung. Di sana tinggal salah satu sufi besar,
ribuan muridnya, bijak orangnya, boleh jadi dia tahu jawabannya. Ayah bergegas mengemas
ransel, berangkat siang itu juga.
Ayah menemui sang Guru. Dia menerima ayah dengan ramah,
memberi ayah kesempatan bertanya. Pertanyaan ayah hanya satu, Dam. Apa hakikat
sejati kebahagiaan hidup? Dengan memahaminya, seluruh kesedihan akan menguap
seperti embun terkena sinar matahari. Dengan memilikinya, setiap hari kita bisa
menghela napas bahagia. Sang Guru terdiam lama, menggeleng, berkata bahwa ayah
memberikan pertanyaan yang dia tidak tahu, tidak ada orang di dunia ini yang bisa
menjawabnya. Ayah mendesah kecewa, ke mana lagi harus mencari tahu. Sang Guru
menatap ayah lamat- lamat, berpikir sejenak. Seberapa tangguh ayah berusaha mencari
tahu? Ayah berkata mantap, apa pun akan ayah lakukan.
Sang Guru tersenyum. Dia memberikan pekerjaan teraneh yang
pernah ayah tahu. Seratus mil dari lereng gunung tempat dia bermukim tedapat
tanah luas di tepi hutan. Ada perkampungan dekat hutan itu. Perkampungan itu
butuh sumber mata air berupa danau. Sang Guru menyuruh ayah membuatkan danau di
tanah luas itu. Astaga, Dam, benar- benar sebuah danau. Itu pekerjaan mudah.
Sang Guru bilang, “Ketika kau berhasil membuat danau indah yang
jernih bagai air mata, kau akan mendapatkan sebuah jawaban hakikat sejati kebahagiaan.
Berangkatlah, setahun kemudian aku akan datang. Aku akan melihat apakah danau
itu sudah sebening air mata.”
Walau tidak punya ide apapun soal danau itu, ayah mengangguk
mantap. Ayah sudah menduga, definisi kebahagiaan sejati seharga
pengorbanan besar. Itu pencapaian paling tinggi seorang sufi, dan sepertinya
tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca buku atau bertanya. Ayah berangkat,
memulai suatu pekerjaan besar itu, membuat danau yang cukup untuk sekampung.
Kau tahu, Dam, tidak terbilang tanah yang harus ayah
pindahkan. Berkubang licak setiap hari,
mulai bekerja saat matahari terbit, baru berhenti ketika matahari tenggelam. Ayah
baru berhenti saat galian itu memiliki kedalaman tiga meter, luasnya sebesar
lapangan bola. Pekerjaan ayah baru separuh selesai. Ayah kemudian membuat
parit- parit dari mata air yang ada di hutan dan mengalirkannya ke lubang
danau. Setahun berlalu, danau itu jadi. Ayah tersenyum senang. Tidak lama lagi
jawaban pertanyaan itu akan datang. Lihatlah, danau yang ayah buat sebening air
mata.
Sesuai janji, sang Guru datang menjenguk ayah pada hari yang
ditentukan. Sialnya, malam sebelum dia datang, hujan turun. Sumber mata air di
hutan menjadi kotor. Ayah yang semangat mengajak sang Guru ke tepi danau
mendesah kecewa. Lihat, danau yang ayah buat jauh dari bening, berubah keruh. Sang
Guru menepuk bahu ayah. Sang Guru berkata, ayah tidak boleh putus asa. Tahun depan
sang Guru akan kembali.
Setelah memikirkan jalan keluarnya, ayah memutuskan membuat
saringan di setiap parit, agar air keruh dan kotor dari mata air ketika hujan
turun tetap bening saat tiba di danau. Ayah mengerjakannya dengan senang hati. Ide
ini akan berhasil. Ayah juga memperbaiki seluruh parit yang bermuara ke danau,
memastikan tidak ada sumbernya yang bermasalah. Sedikit saja ada air keruh
masuk, danau sekristal air mata langsung tercemar.
Setahun berlalu lagi, sang Guru datang menjenguk ayah. Lihat,
danau buatan ayah indah tiada terkira. Pantulan dedaunan di atas permukaan
danau seperti nyata. Ayah tersenyum, menunggu jawaban atas pertanyaan ayah. Sang
Guru menggeleng. Dia meraih sepotong bambu panjang, lantas menusuk- nusuk dasar
danau. Ayah berseru, mencegahnya. Itu akan membuat air danau keruh. Benar saja,
lantai danau yang terbuat dari tanah langsung mengeluarkan kepul lumpur
kecoklatan. Dalam sekejap, danau bening itu musnah. Sang Guru menepuk- nepuk
bahu ayah lalu berkata, “Kau pikirkan lagi, tahun depan aku akan kembali.”
Kau tahu, Dam, ayah seperti dipermainkan. Apa lagi yang
kurang dari danau ayah? Dua tahun sia- sia. Baiklah, ayah tahu apa yang harus
ayah kerjakan. Ayah memutuskan menggali danau sedalam mungkin hingga menyentuh
dasar bebatuan, menyentuh mata airnya. Setahun berlalu, ayah masih berkutat
menyingkirkan tanah- tanah, kedalaman danau sudah sepuluh meter. Sang Guru
datang, melihat dengan takzim ayah yang sibuk bekerja. Dua tahun berlalu, ayah
masih berkutat mengeduk tanah. Tiga tahun berlalu, setelah kerja keras siang
malam, akhirnya ayah berhasil menyentuh dasar bebatuan. Air keluar deras dari
sela- sela batunya. Ayah tertawa senang. Semua parit ayah tutup. Danau itu
sempurna hanya digenangi air dari mata airnya sendiri.
Guru datang pada hari yang dijanjikan. Dia tertawa renyah
melihat danau yang bagai kristal air mata. Tetap bening meski ada yang menusuk-
nusuk dasarnya, tetap dengan cepat kembali bening meski ada air parit yang
bocor dan sejenak membuat keruh. Sang Guru menatap ayah, bertanya apakah ayah
masih butuh penjelasan atas pertanyaan itu. Ayah menggeleng. Hari itu ayah
sudah tahu jawabannya, Dam. Setelah lima tahun bekerja keras, hanya untuk
memahami sebuah kebijaksanaan hidup sederhana, ayah tahu jawabannya.
Itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat
itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan
melapangkan hati, bertahun- tahun berlatih, bertahun- tahun belajar membuat
hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan
kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah
mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan,
semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan
cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya, rasa sedih, kehilangan, kabar buruk,
nasib buruk, itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati
kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.
Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam
hati. Mata air dalam hati itu konkret, Dam. Amat terlihat. Mata air itu menjadi
sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan
kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut
berbahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang- orang yang
hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabatnya mendapatkan
nasib baik, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut
senang.
Itulah hakikat kebahagiaan sejati, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air
sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan
kehidupan bersahaja, sederhana, apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-
sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih.
Sumber : Ayahku (Bukan) Seorang Pembohong - Tereliye